'/> [Artikel] Tidak Ada Lagi Bahasa Inggris Sd

Info Populer 2022

[Artikel] Tidak Ada Lagi Bahasa Inggris Sd

[Artikel] Tidak Ada Lagi Bahasa Inggris Sd
[Artikel] Tidak Ada Lagi Bahasa Inggris Sd

TIDAK ADA LAGI BAHASA INGGRIS SD DI KURIKULUM 2013?

Oleh: Ali Ansori, S.S, M.Pd
Widyaiswara LPMP Prov. Kep. Bangka Belitung

Sudah hampir 14 tahun pembelajaran Bahasa Inggris berlangsung di SD (SD) terhitung semenjak dicetuskan secara resmi pada tahun 1994. Tentu selama masa kurun waktu tersebut telah banyak kebijakan ataupun perjuangan yang muncul demi memuluskan kegiatan mercesuar untuk menyonsong masa globalisasi dimana komunikasi dengan bahasa Inggris merupakan sesuatu yang tak bisa dihindari di hampir semua aspek kehidupan manusia. Diantara kebijakan ataupun perjuangan tersebut yaitu perubahan bahasa Inggris yang semula sebagai mata pelajaran muatan lokal pilihan menjadi mata pelajaran muatan local wajib di beberapa daerah, yang pertama hanya dilaksanakan di kelas-kelas atas kemudian merambah ke kelas 1, 2, dan 3, pengalokasian dana khusus pada APBN dan APBD untuk peningkatan kompetensi guru Bahasa Inggris SD melalui diklat-diklat dan termasuk aneka ragam kegiatan sanggup bangun diatas kaki sendiri sekolah dan masyarakat yang telah banyak dilakukan. Artinya bahwa betapa banyak waktu, tenaga dan biaya yang telah dikorbankan oleh masing-masing pihak yang terlibat demi mensukseskan kegiatan ini. Kenyataannya sekarang semua harus gigit jari, alasannya yaitu belum lagi kita memetik hasil penuh berupa hadirnya kecakapan belum dewasa didik kita berkomunikasi dengan Bahasa Inggris semenjak mereka duduk di dingklik SD, sekarang muncul kebijakan gres pemerintah melalui kemendikbud untuk tidak memasukkan Bahasa Inggris sebagai pelajaran yang diajarkan di SD.

Pada pembahasan kurikulum gres beberapa hari yang kemudian secara eksplisit dikatakan bahwa mata pelajaran Bahasa Inggris akan dihapus dari jenjang SD, terutama kelas 1 hingga kelas 3. Menurut Wamendikbud bidang pendidikan Musliar Kasim, alasan utamanya yaitu alasannya yaitu di tingkat sekolah paling dasar belum dewasa membutuhkan pembelajaran Bahasa Indonesia yang belum tentu mereka lafazkan huruf-hurufnya dengan baik dan lagipula apa arti filosofis di belakangnya. Kebijakan pembatalan Bahasa Inggris ini akan menjadi wajib disekolah negeri. Bahkan sekolah yang berstatus Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) yang 80 persen proses pengajaran seluruh mata pelajarannya menggunakan Bahasa Inggris harus mengikuti kurikulum yang gres ini (Okezone, 10/10/2012).

Ini tentu merupakan sesuatu yang pahit kita rasakan, dimana ketika geliat semangat mulai meningkat, kuda-kuda telah terpasang, dan langkah-langkah gres siap diayunkan, tiba-tiba semua harus terhenti sebelum mencapai garis finish. Dimana bunyi orang-orang yang mengusulkan ilham awal tersebut? Mengapa dibiarkan terhenti jikalau ia dianggap sanggup memberi bantuan dalam mencerdaskan anak bangsa? Sudahkah dianalisa secara dalam mengenai dampak yang akan muncul? Tulisan ini ingin menegaskan perihal pentingnya kegiatan tersebut untuk tetap dilaksanakan dengan mengajak semua pihak untuk flashback, memahami manfaat, dan memikirkan dampak terhadap penghentiannya.

Kita ketahui bahwa kebijakan perihal memasukkan pelajaran bahasa Inggris di sekolah dasar sesuai dengan kebijakan Depdikbud RI No. 0487/1992, Bab VIII, yang menyatakan bahwa sekolah dasar sanggup menambah mata pelajaran dalam kurikulumnya, asalkan pelajaran itu tidak bertentangan dengan tujuan pendidikan nasional. Kemudian, kebijakan ini disusul oleh SK Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 060/U/1993 tanggal 25 Februari 1993 perihal dimungkinkannya kegiatan bahasa Inggris sebagai mata pelajaran muatan lokal SD, dan sanggup dimulai pada kelas 4 SD (Depdiknas). Dasar Kebijakan tersebut yaitu adanya kebutuhan keterampilan berbahasa Inggris untuk ikut berpartisipasi dalam masa komunikasi dan globalisasi, serta untuk transfer ilmu, baik dalam bahasaInggris verbal (ceramah, diskusi, presentasi) atau tertulis (membaca referensi, menulis laporan, dan sebagainya). Jika itu yang menjadi tujuannya, maka sanggup dikatakan bahwa penghentian kegiatan Bahasa Inggris SD yang telah disuarakan tidak sesuai dengan tujuan pendidikan nasional yang hendak mencetak para insan yang berpikir dan bersikap global. Bagaimana hendak membuat generasi yang punya daya saing global jikalau Bahasa Inggris sebagai alat komunikasi tidak diperkenalkan lebih awal.

Tentu sangat disayangkan langkah buru-buru yang diambil oleh pemerintah mengenai hal tersebut alasannya yaitu tidak ada dasar pemikiran yang terperinci yang dijadikan pola untuk itu. Jika persoalannya semata-mata alasannya yaitu bahasa Inggris sanggup mengganggu perkembangan bahasa ibunya belum dewasa yaitu Bahasa Indonesia, maka alasan yang diberikan sangat lemah sekali. Karena justru dengan mengenalkan bahasa Inggris kepada anak semenjak dini akan membantu mereka memahami bahwa ada bahasa lain selain bahasa ibu. Disamping hal tersebut sanggup menyebarkan fungsi kognitif mereka. Prof.Kasihani E. Suyanto, M.A, P.hD. dalam kegiatan ratifikasi Guru Besarnya menyampaikan bahwa anak usia 10 tahun (kelas 4 SD) sedang dalam proses berubah yang tadinya “egosentris” ke relasi timbal balik atau “reciprocity” sehingga bila pengajaran bahasa abnormal dimulai lebih dini maka hal ini akan memicu keterampilan kognitif. Selain itu, tidak ada penelitian yang menyampaikan bahwa mempelajari bahasa abnormal sanggup mempengaruhi akuisisi bahasa ibu anak ketika mereka sudah menguasai bahasa itu. Siswa kelas 4 SD bisa dikategorikan pada kelompok anak yang sudah menguasai bahasa Indonesia dengan baik alasannya yaitu mereka sudah bisa berbicara, mendengar, membaca, dan menulis. Artinya, ketika di ketika bersamaan mereka juga harus berguru bahasa Inggris, maka itu tidak akan mempengaruhi penguasaan bahasa Indonesia mereka.

Dari sisi neuro physiology, ada studi perihal perberkembangan kemampuan otak secara aplikatif, disebutkan bahwa pada tahun ke sembilan hingga tahun ke dua belas seorang anak bisa memfokuskan dalam berguru berbicara, A Specialist in learning to speak, oleh alasannya yaitu itu ketika seorang anak telah mencapai umur sekian akan bisa berguru dua atau tiga bahasa sekaligus secara baik. Selain itu, sebuah penelitian lain menegaskan bahwa anak ketika berguru lebih dari satu bahasa pada masa dini, kemampuannya dalam menyerap bahasa lebih baik dari pada di usia dewasa.

Apalagi jikalau persoalannya hanya mengenai keberadaan Bahasa Inggris yang diasumsikan sanggup menghilangkan rasa nasionalisme anak-anak. Menurut ekonomis penulis, perkara nasionalisme merupakan perkara character building, jauh dari permasalahan akhir berguru bahasa abnormal dalam hal ini bahasa Inggris. Terlalu sempit sudut pandang kita jikalau menyebabkan hal tersebut sebuah alasan biar pembelajaran bahasa Inggris tak perlu digalakkan semenjak SD. Asumsi demikian hanyalah berupa sentimen primordial terhadap budaya barat yang mungkin konatasinya selalu keburukan karakter masyarakatnya, yang juga belum tentu benar adanya. Bagaimana dengan pembelajaran bahasa Arab? Sama sekali tidak pernah dipermasalahkan alasannya yaitu yang dimunculkan yaitu stigma kebaikan, bahwa bahasa Arab yaitu bahasa agama. Padahal kenyataannya ia digunakan bukan untuk agama an sich. Kita mesti berpikir pair bahwa bahasa hanyalah sebuah alat komunikasi, tidak akan pernah melunturkan nilai-nilai apapun, termasuk nasionalisme. Daripada itu ketika di satu sisi pembelajaran bahasa Inggris harus digalakkan, di sisi lain rasa pujian terhadap bahasa Indonesia dan nasionalisme harus dikuatkan melalui kegiatan-kegiatan character building.

Namun yang kita kawatirkan disini yaitu jikalau penghentian kegiatan ini hanya merupakan basuh tangan pemerintah untuk menutupi “aib” terhadap pembelajaran bahasa di SD yang selama ini berjalan tanpa arah yang pasti. Kita ketahui bahwa pendidikan bahasa Inggris di sekolah dasar sangat miskin. Status subjek hanya subjek lokal. Ini tidak termasuk dalam mata pelajaran nasional, subyek penting. Bahasa Inggris di sekolah dasar tidak mempunyai kurikulum yang terperinci dan silabus. Dan itu diajarkan oleh inkompetensi dan guru masuk akal tanpa pengecualian. Guru tidak mempunyai akta kelulusan bahasa Inggris. Jelasnya, pembelajaran bahasa Inggris sejauh ini tidak mencapai output yang optimal.

Jika demikian maksud dari kemunculan kebijakan yang gres ini, maka hal ini merupakan pengabaian dari banyaknya manfaat yang bahwasanya bisa dipetik dari pelaksanaan kegiatan tersebut. Menurut I Made Sukamerta dalam penelitian tesisnya perihal implementasi kebijakan pembelajaran bahasa Inggris pada sekolah dasar di kota Denpasar, bahwa makna implementasi kebijakan pengajaran bahasa Inggris semenjak SD akan bermanfaat bagi siswa dalam menempuh pendidikan pada jenjang yang lebih tinggi. Di samping itu pula, kebijakan pengajaran bahasa Inggris SD berarti telah memenuhi tuntutan masa globalisasi dan kemajuan dunia dalam banyak sekali aspek kehidupan. Bisa dibayangkan jikalau pemerintah kembali kepada kebijakan dimana pembelajaran bahasa Inggris gres dimulai di dingklik SMP, maka artinya belum dewasa akan kehilangan exposure untuk berguru bahasa abnormal tersebut hampir selama 3 tahun. Sungguh sangat disayangkan. Padahal, menyerupai yang dikatakan oleh Prof. Kasihani E. Suyanto, M.A, P.hD, meskipun semua lulusan SMU/SMK/MA telah berguru bahasa Inggris selama 6 tahun. Kenyataan memperlihatkan bahwa sehabis 6 tahun berguru bahasa Inggris, lulusan belum sanggup memanfaatkan keterampilan berbahasa Inggrisnya pada waktu mereka berguru di sekolah tinggi tinggi. Itulah kenapa kegiatan tersebut harus dimulai lebih dini, minimal dari kelas empat SD, sehingga jangka waktu berguru bahasa abnormal ini menjadi lebih usang bagi anak-anak.

Selain mengenai beberapa permasalahan diatas, penghentian kegiatan pembelajaran bahasa Inggris di SD bisa menawarkan banyak dampak negatif, antara lain: Pertama, memunculkan stigma jelek dari masyarakat bahwa pemerintah tidak konsisten dengan kebijakannya sendiri, ganti menteri ganti kurikulum. Selain pemerintah seakan tidak menawarkan kesempatan buat anak untuk menyebarkan diri semenjak dini dalam penguasaan bahasa asing. Kedua, mengkerdilkan bahasa Inggris di mata orang renta siswa dan siswa itu sendiri. Persepsi yang sudah terbentuk di masyarakat bahwa bahasa Inggris yaitu bahasa yang sangat penting untuk dikuasai. Orangtua siswa sangat mendukung dukungan pelajaran bahasa Inggris semenjak awal. Bahkan impian orangtua pada umumnya yaitu supaya dukungan pelajaran bahasa Inggris diberikan bukan dari kelas empat, melainkan dari kelas satu. Jika kegiatan tersebut terhenti, tentu akan meresahkan mereka. Ketiga, sedikit banyak mengganggu kegiatan sekolah yang sudah berupaya melakukan banyak sekali macam penguatan berkaitan dengan pembelajaran bahasa Inggris sebagai muatan lokal wajib di sekolah. Keempat, melemahkan tugas dan fungsi LPTK-LPTK yang sudah menjalankan program-program tertentu, contohnya penyiapan kegiatan bahasa Inggris untuk belum dewasa secara khusus pada kegiatan studi bahasa Inggris mereka dan mengganggu pelaksanaan kerjasama mereka dalam penyediaan tenaga pengajar bahasa Inggris bagi SD yang selama ini berlangsung. Terakhir, merugikan lembaga-lembaga kursus bahasa Inggris yang sejauh ini telah banyak membantu masyarakat dalam menyebarkan kecakapan berbahasa Inggris. Ketika musim orang renta turun terhadap kepentingan pembelajaran bahasa Inggris buat putra-putri mereka, maka bisa mengkecilkan pangsa pasar lembaga-lembaga tersebut yang sejauh ini banyak diisi oleh para siswa PAUD dan SD.

Kita berharap bahwa pendidikan bahasa Inggris di Indonesia khususnya di sekolah dasar tetap dipertahankan alasannya yaitu banyak menawarkan manfaat bagi masyarakat luas. Penulis tetap berpikir bahwa penguasaan bahasa Inggris harus dicapai lebih awal. Ini akan sangat terlambat jikalau bahasa Inggris diperkenalkan di SMP. Namun, kita harus berbenah, tidak mengulangi langkah keliru ketika pertama kali kebijakan perihal pendidikan bahasa Inggris di sekolah dasar ini diluncurkan. Semua harus disiapkan secara matang, sehingga tidak asal-asalan.

Meskipun kesudahannya kebijakan pemerintah sudah lingkaran untuk tidak memasukkan Bahasa Inggris pada kurikulum mendatang, maka sejalan dengan apa yang dinyatakan oleh anggota komite III DPD , biar pemerintah tetap membuat alternatif lain supaya siswa tetap sanggup menguasai Bahasa Inggris alasannya yaitu sifatnya sudah menjadi bahasa pergaulan internasional (Okezone, 10/10/2012). Jika tidak demikian, penguasaan bahasa Inggris masyarakat kita akan lemah, sehingga tidak bisa memegang kendali dalam komunikasi global dan bangsa kita pun semakin tertinggal.

*) Artikel ini dikirim oleh penulis ke
Advertisement

Iklan Sidebar